Dramaturgi
seorang CEO (Chief
Executtive Officer)
kepada pegawai dan kekasihnya
Dramaturgi
adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Goffman
mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara,
lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh
individu sebagai aktor “kehidupan.”. Goffman memusatkan perhatian
pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai
serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di
panggung. Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang
lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka
melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya.
Dramaturgi
menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa
makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan
diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh
karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku
manusia bersifat dramatik.
Pendekatan
dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia
berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Dramaturgi
memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan”
perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir
dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah
satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Teori
dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman. Goffman lahir di
Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Ia adalah
lulusan Universitas Chicago yang banyak melahirkan teori sosial
psikologis di Amerika Serikat.
Teori
Goffman menganggap individu sebagai satuan analisa. Untuk menjelaskan
tindakan manusia, Goffman memakai analogi drama dan teater. Karena
alasan inilah Goffman disebut sebagai seorang dramaturgist , yang
menggunakan bahasa dan tamsil panggung teater. Buku yang berjudul The
Presentation of Self in Everyday Life,
yang merupakan karya Goffman di tahun 1959 ,menyediakan dasar teori
mengenai bagaimana individu tampil di dalam dunia sosial, suatu
kerangka yang terus dipakai Goffman dalam sejumlah karya-karyanya
kemudian.
Teori
Dramaturgi
Erving Goffman sangat dipengaruhi konsep The
Self
dari George Herbert Mead. Mead menegaskan bahwa The
Self
merupakan mahluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan
sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu
stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral
bagi interaksionisme simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif
interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping
persektif-perspektif yang lain.
Pengembangan
diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan
Cooley tentang the
looking glass self.
Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita
mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita
membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita; ketiga,
kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau
malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.
Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu
gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan,
karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara
kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang
digunakan Goffman juga berasal dari gagasan-gagasan Burk. Dengan
demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian
interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran
sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari
khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara
sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra
tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku
bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus
dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi
kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu,
melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan
mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah
“suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus
diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi
simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan
identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam
kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka.
Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan
situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung
dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi.
Presentasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan
memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor,
dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak
dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman
mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin
menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia
menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression
management),
yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan
tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Goffman membagi
“pangggung sandiwara” kehidupan menjadi “wilayah depan”
(front
stage)
dan “wilayah belakang” (back
stage).
Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa
individu memainkan peran formalnya di atas “panggung sandiwara”
di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk
kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan
perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara
bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang
wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back
stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,
mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di
panggung depan.
Goffman membagi
panggung depan (front stage) menjadi dua bagian:
setting
: yang merupakan lokasi khusus tempat penampilan dilakukan .
personal
front : yaitu kepribadian yang tampak dalam berbagai bentuk ekspresi
(perilaku/tindakan) yang membantu audiens mengidentifikasi pelakunya
dan yang diharapkan dalam 'setting'. Personal front merupakan bagian
penting dalam analisis dramaturgi yang terbagi menjadi ;
a)
appearance : ciri khusus pelaku yang tampak ,misalnya pakaian/alat.
b)
manner : perilaku tertentu/gaya.
Secara
umum, audiens mengharapkan adanya konsistensi antara appearance dan
manner pelaku. Front stage yang berkembang dan diterima kemudian
dilembagakan menjadi “representatif
kolektif”
yaitu seperangkat tata perilaku yang diterima dan diharapkan
masyarakat pada peran dan status tertentu. Pendapat Goffman ini
sangat mendekati konsep norma dan aturan sosial dalam fungsionalisme.
Konsep back stage
memaparkan bahwa setiap individu berusaha menampilkan dirinya
sebagaimana yang diharapkan oleh audiens. Oleh sebab itu,ia berusaha
menutupi berbagai perilaku yang tidak diharapkan audiens dalam
penampilannya. Sehingga perilaku berusaha :
a).
menutupi perilaku yang tidak sesuai
b).
menghindari kesalahan
c).
menutupi proses yang tidak baik
Pelaku
berusaha agar audiens
tidak mengetahui aspek-aspek backstage
nya.
Sehingga munculah imppresion
management
yaitu sebuah metode yang digunakan oleh pelaku untuk meminimalisir
kesalahan dan berbagai tindakan yang tidak tepat selama penampilan.
Imppresion
management
dapat berupa :
a)
berganti audiens
b)
pengendalian emosi dan gaya bicara
c)
persiapan yang matang sekaligus mengantisipasi gangguan.
Fokus
perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga
kelompok atau apa yang ia sebut team.
Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor
sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya,
baik itu keluarga, tempat bekerja, partai politik, atau organisasi
lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim
pertunjukan” (performance
team)
yang mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan
oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam
wilayah depan. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi
arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau
isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus.
Goffman menekankan
bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada
kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia
tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap
terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga
dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar
pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga
agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar. Etiket adalah
yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi.
Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan
anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur
diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita
lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang
diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut
Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan
wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang
saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah
suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang
layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan
mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain
yang juga hadir.
Realitas sosial dari
penerapan teori dramarturgi ini terlihat dari kehidupan seorang
Chief Executive
Officer (Pejabat
Eksekutif Tertinggi). Pengalaman pribadi saya ketika mengenal
kepribadian dan sisi lain seorang CEO sangat merefleksikan
dramarturgi ,karena ia mempunyai peran berbeda pada saat bekerja
didepan karyawan dan ketika sedang bersama kekasihnya.
Seorang CEO memiiki tingkat
tanggung jawab yang tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya. Dalam
sebuah usaha rintisan teristimewa, peranan CEO sangatlah krusial. Ia
adalah seorang pimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan atau
kesuksesan sebuah perusahaan, dalam menciptakan kultur perusahaan
yang baik untuk kemajuan perusahaan, seorang CEO merupakan penggerak
utama keberhasilan bisnis yang mampu memotivasi, menginspirasi
karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Seorang CEO sebuah perusahaan
e-commerce tampil
mantap sebagai lulusan MBA dari sebuah sekolah magister ekonomi di
Helsinki. Dalam memimpin perusahaannya ,ia mempunyai front
stage
yang sangat meyakinkan. Di kantornya yang berada di kawasan elite
Ibukota dan ruang kerja di sebuah building
yang mewah menjulang tinggi,ia menunjukan personal
front kepada
para karyawannya dengan penampilan yang parlente. Dengan kemeja putih
dan jas yang cocok dengan postur tubuhnya ditambah dengan
perilaku-perilaku nya yang beretiket dan bermartabat membuat audiens
dalam hal ini adalah karyawan, clients,
investor merasa
yakin dan mau mengikuti apa yang ia perintahkan. CEO tersebut
mempersiapan penampilannya dengan baik ,karena mengantisipasi
gangguan dari luar dan agar audiens
menilai dirinya sesuai dengan yang diinginkannya. Dalam hal ini
audiens
mengharapkan adanya konsistensi antara penampilannya yang parlente
dengan sikap dan perilaku yang ditunjukannya. Hal yang sama terjadi
pada saat CEO mengadakan meeting dengan partner
dan pegawai. Front
stage
yang terlihat adalah sebuah kewibawaan dan kecerdasan yang meyakinkan
dengan semangat dan etos kerja tinggi. Melalui pendidikan yang
tinggi, status sosial high
end
, serta kondisi ekonomi yang mapan CEO mengemas dirinya sedemikian
rupa, agar tampil sebagai sosok yang berintegritas ,pengabdian jujur,
bersih dan berani. Walaupun sebenarnya itu hanya tuntutan peran
agar dapat melanggengkan jabatan dan kredibilitasnya. Goffman
menyatakan bahwa selama kegiatan rutin seseorang akan mengetengahkan
sosok dirinya yang ideal (sebagaimana yang dituntut oleh status
sosialnya).
Dramaturgi
memahami bahwa dalam interaksi antar CEO dan para karyawannya ada
kesepakatan perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada
tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. CEO tersebut
menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan
peran tersebut ia bisa tampil sebagai sebuah sosok yang disegani dan
mempunyai peran yang sangat berpengaruh. CEO berusaha mengontrol diri
seperti penampilan, keadaaan fisik, dan perilaku aktual serta gerak,
agar perilaku menyimpang yang ia jalani tidak diketahui oleh
lingkungan mereka (audiens).
CEO mengerti kedudukan yang melekat pada dirinya semata-mata demi
melayani audiens (customer,client
dan karyawannya).
Disamping
panggung depan (frontstage)
terdapat juga daerah belakang layar (backstage).
Identifikasi daerah belakang ini tergantung dari audiens
yang bersangkutan. Pada saat istirahat, di ruang pribadi kantor CEO
adalah merupakan tempat untuk duduk santai melepas stres dan bersama
dengan kekasihnya. Seluruh karyawan tidak mengetahui bahwasanya
wanita yang sedang bersama bos-nya itu adalah kekasihnya, mereka
hanya mengetahui jika ia adalah partner bisnis semata. Dalam hal ini
,sang CEO berusaha menutupi backstagenya.
CEO tersebut mempunyai peran ganda ketika menghadapi kekasihnya,
karena ia belum menikah. Ia tidak menginginkan kehidupan pribadi nya
menjadi konsumsi audiens
sehingga ia menyembunyikan hubungannya. Ia beranggapan bahwa hal
tersebut merupakan back
stage
yang bisa saja mempengaruhi kepentingan bisnisnya. Ia tidak
menginginkan hubungannya tersebut diketahui oleh audiens
(karyawan, clients, customer). Bahwasanya CEO tersebut sering
melakukan free
sex,
minum minuman keras hingga mabuk, sering datang ke tempat hiburan
malam, dan melakukan penyimpangan. Ia mencoba menutupi proses
penyimpangan tersebut karena dramaturginya sebagai seorang CEO. Back
stage
seorang CEO yang tidak diharapkan oleh audiens mencoba tidak ia
tunjukkan ke publik karena ia memiliki kredibilitas dan tanggung
jawab status untuk menjalankan perannya yang seharusnya stabil.
Kredibilitas dan perannya sebagai pimpinan perusahaan bisa runtuh dan
bisnisnya bisa hancur manakala kekasihnya 'membuka' basckstage
daripada
penyimpangan tersebut. CEO tersebut cenderung menyembunyikan atau
mengeyampingkan kegiatan, fakta-fakta dan motif – motif yang tidak
sesuai dengan citra dirinya dan produk-produknya yang ideal. Tidak
ada karyawan yang ingin diperlakukan sebagai komoditi , karena itu
sang CEO harus menegaskan ciri khas hubungan CEO-karyawan tanpa
menyimpang dari perilaku profesional yang sebenarnya.
Akan
tetapi dibelakang CEO tersebut, ternyata kekasihnya telah memberitahu
para karyawan bahwa dirinya adalah kekasih bos nya itu lalu
membeberkan bahwa bos mereka sering datang ke tempat hiburan malam,
mabuk
lalu free
sex.
Setelah karyawan-karyawan mengetahuinya, mereka bersikap pura-pura
tidak tahu tentang hubungan pribadi bos nya tersebut demi menjaga
team
untuk 'mementaskan; routine.
Seluruh warga perusahaan sebagai suatu team,
pada saat mengetahui CEO nya memiliki tindakan menyimpang, maka
mereka menyembunyikan
dan mengurangi fakta-fakta tersebut. Kita dapat memahami bagaimana
secara diam-diam aktor hidup dari karir persekongkolan.
Seorang
CEO harus berhasil memainkan suatu karakter. Apabila terjadi krisis
atau situasi gawat “demi menyelamatkan pertunjukan” dia harus
memiliki atribut. Menurut Goffman, kesetiaan, disiplin dan
kewaspadaan adalah merupakan tiga atribut esensial bagi keberhasilan
team
melaksanakan pertunjukannya.
Dalam analisa
sosiologis mengenai penampilan diri di hadapan orang lain, Erving
Goffman menggunakan bahasa tamsil dan teater. Berbagai kegiatan serta
hasil suksesnya ditentukan oleh pilar-pilar struktural serta struktur
yang pasti atau situasi sesaat, maupun aturan-aturan atau norma-norma
yang mengatur pertunjukan.
Dalam karya
selanjutnya, Goffman menekankan arti pentingnya kelompok sosial yang
tidak abadi. Yang termasuk kelompok sosial sesaat ini ialah pertemuan
tatap-muka yang bisa ditemukan di
jalan,taman,restoran,teater,toko-toko,gedung dansa dsb. Dia juga
membicarakan individu yang dalam beberapa hal memiliki aib,memusatkan
perhatian bagaimana mereka mengendalikan penampilan self yang
mengandung aib itu. Selanjutnya tekanan kembali diberikan pada
pengendalian kesa, atau bagaimana manusia menampilkan diri, seperti
penampilan yang diinginkannya didepan mata pihak lain.
Pandangan Goffman
yang melihat manusia sebagai “calon bintang” yang menyajikan
tindakan menyakinkan bagi orang lain merupakan langkah yang
meninggalkan determenisme struktural-fungsional. Untuk alasan ini
Goffman sering disebut sebagai seorang interaksionis simbolik.
Referensi :
Poloma
,Margareth M. 2010. Sosiologi
Kontemporer.
Jakarta : Rajawali Press