Sunday 9 February 2014

Bergaya di Atas Panggung Sandiwara Kehidupan : Dramaturgi Sebagai Teori (Erving Goffman).

Dramaturgi seorang CEO (Chief Executtive Officer) kepada pegawai dan kekasihnya

Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor “kehidupan.”. Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Teori dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman. Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Ia adalah lulusan Universitas Chicago yang banyak melahirkan teori sosial psikologis di Amerika Serikat.
Teori Goffman menganggap individu sebagai satuan analisa. Untuk menjelaskan tindakan manusia, Goffman memakai analogi drama dan teater. Karena alasan inilah Goffman disebut sebagai seorang dramaturgist , yang menggunakan bahasa dan tamsil panggung teater. Buku yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, yang merupakan karya Goffman di tahun 1959 ,menyediakan dasar teori mengenai bagaimana individu tampil di dalam dunia sosial, suatu kerangka yang terus dipakai Goffman dalam sejumlah karya-karyanya kemudian.
Teori Dramaturgi Erving Goffman sangat dipengaruhi konsep The Self dari George Herbert Mead. Mead menegaskan bahwa The Self merupakan mahluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif yang lain.
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman juga berasal dari gagasan-gagasan Burk. Dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Goffman membagi “pangggung sandiwara” kehidupan menjadi “wilayah depan” (front stage) dan “wilayah belakang” (back stage). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu memainkan peran formalnya di atas “panggung sandiwara” di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Goffman membagi panggung depan (front stage) menjadi dua bagian:
  1. setting : yang merupakan lokasi khusus tempat penampilan dilakukan .
  2. personal front : yaitu kepribadian yang tampak dalam berbagai bentuk ekspresi (perilaku/tindakan) yang membantu audiens mengidentifikasi pelakunya dan yang diharapkan dalam 'setting'. Personal front merupakan bagian penting dalam analisis dramaturgi yang terbagi menjadi ;
a) appearance : ciri khusus pelaku yang tampak ,misalnya pakaian/alat.
b) manner : perilaku tertentu/gaya.
Secara umum, audiens mengharapkan adanya konsistensi antara appearance dan manner pelaku. Front stage yang berkembang dan diterima kemudian dilembagakan menjadi “representatif kolektif” yaitu seperangkat tata perilaku yang diterima dan diharapkan masyarakat pada peran dan status tertentu. Pendapat Goffman ini sangat mendekati konsep norma dan aturan sosial dalam fungsionalisme.
Konsep back stage memaparkan bahwa setiap individu berusaha menampilkan dirinya sebagaimana yang diharapkan oleh audiens. Oleh sebab itu,ia berusaha menutupi berbagai perilaku yang tidak diharapkan audiens dalam penampilannya. Sehingga perilaku berusaha :
a). menutupi perilaku yang tidak sesuai
b). menghindari kesalahan
c). menutupi proses yang tidak baik
Pelaku berusaha agar audiens tidak mengetahui aspek-aspek backstage nya. Sehingga munculah imppresion management yaitu sebuah metode yang digunakan oleh pelaku untuk meminimalisir kesalahan dan berbagai tindakan yang tidak tepat selama penampilan. Imppresion management dapat berupa :
a) berganti audiens
b) pengendalian emosi dan gaya bicara
c) persiapan yang matang sekaligus mengantisipasi gangguan.
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau apa yang ia sebut team. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, partai politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus.
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Realitas sosial dari penerapan teori dramarturgi ini terlihat dari kehidupan seorang Chief Executive Officer (Pejabat Eksekutif Tertinggi). Pengalaman pribadi saya ketika mengenal kepribadian dan sisi lain seorang CEO sangat merefleksikan dramarturgi ,karena ia mempunyai peran berbeda pada saat bekerja didepan karyawan dan ketika sedang bersama kekasihnya.
Seorang CEO memiiki tingkat tanggung jawab yang tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya. Dalam sebuah usaha rintisan teristimewa, peranan CEO sangatlah krusial. Ia adalah seorang pimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan atau kesuksesan sebuah perusahaan, dalam menciptakan kultur perusahaan yang baik untuk kemajuan perusahaan, seorang CEO merupakan penggerak utama keberhasilan bisnis yang mampu memotivasi, menginspirasi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Seorang CEO sebuah perusahaan e-commerce tampil mantap sebagai lulusan MBA dari sebuah sekolah magister ekonomi di Helsinki. Dalam memimpin perusahaannya ,ia mempunyai front stage yang sangat meyakinkan. Di kantornya yang berada di kawasan elite Ibukota dan ruang kerja di sebuah building yang mewah menjulang tinggi,ia menunjukan personal front kepada para karyawannya dengan penampilan yang parlente. Dengan kemeja putih dan jas yang cocok dengan postur tubuhnya ditambah dengan perilaku-perilaku nya yang beretiket dan bermartabat membuat audiens dalam hal ini adalah karyawan, clients, investor merasa yakin dan mau mengikuti apa yang ia perintahkan. CEO tersebut mempersiapan penampilannya dengan baik ,karena mengantisipasi gangguan dari luar dan agar audiens menilai dirinya sesuai dengan yang diinginkannya. Dalam hal ini audiens mengharapkan adanya konsistensi antara penampilannya yang parlente dengan sikap dan perilaku yang ditunjukannya. Hal yang sama terjadi pada saat CEO mengadakan meeting dengan partner dan pegawai. Front stage yang terlihat adalah sebuah kewibawaan dan kecerdasan yang meyakinkan dengan semangat dan etos kerja tinggi. Melalui pendidikan yang tinggi, status sosial high end , serta kondisi ekonomi yang mapan CEO mengemas dirinya sedemikian rupa, agar tampil sebagai sosok yang berintegritas ,pengabdian jujur, bersih dan berani. Walaupun sebenarnya itu hanya tuntutan peran agar dapat melanggengkan jabatan dan kredibilitasnya. Goffman menyatakan bahwa selama kegiatan rutin seseorang akan mengetengahkan sosok dirinya yang ideal (sebagaimana yang dituntut oleh status sosialnya).
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar CEO dan para karyawannya ada kesepakatan perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. CEO tersebut menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sebuah sosok yang disegani dan mempunyai peran yang sangat berpengaruh. CEO berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaaan fisik, dan perilaku aktual serta gerak, agar perilaku menyimpang yang ia jalani tidak diketahui oleh lingkungan mereka (audiens). CEO mengerti kedudukan yang melekat pada dirinya semata-mata demi melayani audiens (customer,client dan karyawannya).
Disamping panggung depan (frontstage) terdapat juga daerah belakang layar (backstage). Identifikasi daerah belakang ini tergantung dari audiens yang bersangkutan. Pada saat istirahat, di ruang pribadi kantor CEO adalah merupakan tempat untuk duduk santai melepas stres dan bersama dengan kekasihnya. Seluruh karyawan tidak mengetahui bahwasanya wanita yang sedang bersama bos-nya itu adalah kekasihnya, mereka hanya mengetahui jika ia adalah partner bisnis semata. Dalam hal ini ,sang CEO berusaha menutupi backstagenya. CEO tersebut mempunyai peran ganda ketika menghadapi kekasihnya, karena ia belum menikah. Ia tidak menginginkan kehidupan pribadi nya menjadi konsumsi audiens sehingga ia menyembunyikan hubungannya. Ia beranggapan bahwa hal tersebut merupakan back stage yang bisa saja mempengaruhi kepentingan bisnisnya. Ia tidak menginginkan hubungannya tersebut diketahui oleh audiens (karyawan, clients, customer). Bahwasanya CEO tersebut sering melakukan free sex, minum minuman keras hingga mabuk, sering datang ke tempat hiburan malam, dan melakukan penyimpangan. Ia mencoba menutupi proses penyimpangan tersebut karena dramaturginya sebagai seorang CEO. Back stage seorang CEO yang tidak diharapkan oleh audiens mencoba tidak ia tunjukkan ke publik karena ia memiliki kredibilitas dan tanggung jawab status untuk menjalankan perannya yang seharusnya stabil. Kredibilitas dan perannya sebagai pimpinan perusahaan bisa runtuh dan bisnisnya bisa hancur manakala kekasihnya 'membuka' basckstage daripada penyimpangan tersebut. CEO tersebut cenderung menyembunyikan atau mengeyampingkan kegiatan, fakta-fakta dan motif – motif yang tidak sesuai dengan citra dirinya dan produk-produknya yang ideal. Tidak ada karyawan yang ingin diperlakukan sebagai komoditi , karena itu sang CEO harus menegaskan ciri khas hubungan CEO-karyawan tanpa menyimpang dari perilaku profesional yang sebenarnya.
Akan tetapi dibelakang CEO tersebut, ternyata kekasihnya telah memberitahu para karyawan bahwa dirinya adalah kekasih bos nya itu lalu membeberkan bahwa bos mereka sering datang ke tempat hiburan malam, mabuk lalu free sex. Setelah karyawan-karyawan mengetahuinya, mereka bersikap pura-pura tidak tahu tentang hubungan pribadi bos nya tersebut demi menjaga team untuk 'mementaskan; routine. Seluruh warga perusahaan sebagai suatu team, pada saat mengetahui CEO nya memiliki tindakan menyimpang, maka mereka menyembunyikan dan mengurangi fakta-fakta tersebut. Kita dapat memahami bagaimana secara diam-diam aktor hidup dari karir persekongkolan.
Seorang CEO harus berhasil memainkan suatu karakter. Apabila terjadi krisis atau situasi gawat “demi menyelamatkan pertunjukan” dia harus memiliki atribut. Menurut Goffman, kesetiaan, disiplin dan kewaspadaan adalah merupakan tiga atribut esensial bagi keberhasilan team melaksanakan pertunjukannya.
Dalam analisa sosiologis mengenai penampilan diri di hadapan orang lain, Erving Goffman menggunakan bahasa tamsil dan teater. Berbagai kegiatan serta hasil suksesnya ditentukan oleh pilar-pilar struktural serta struktur yang pasti atau situasi sesaat, maupun aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur pertunjukan.
Dalam karya selanjutnya, Goffman menekankan arti pentingnya kelompok sosial yang tidak abadi. Yang termasuk kelompok sosial sesaat ini ialah pertemuan tatap-muka yang bisa ditemukan di jalan,taman,restoran,teater,toko-toko,gedung dansa dsb. Dia juga membicarakan individu yang dalam beberapa hal memiliki aib,memusatkan perhatian bagaimana mereka mengendalikan penampilan self yang mengandung aib itu. Selanjutnya tekanan kembali diberikan pada pengendalian kesa, atau bagaimana manusia menampilkan diri, seperti penampilan yang diinginkannya didepan mata pihak lain.
Pandangan Goffman yang melihat manusia sebagai “calon bintang” yang menyajikan tindakan menyakinkan bagi orang lain merupakan langkah yang meninggalkan determenisme struktural-fungsional. Untuk alasan ini Goffman sering disebut sebagai seorang interaksionis simbolik.
Referensi :

Poloma ,Margareth M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Press

No comments:

Post a Comment

Feel Free to comment... Sertakan Identitas kamu yah ^.^