Saturday 11 January 2014

Fenomena Pengemis Kaya dan Fatwa Haram MUI

Dewasa ini Indonesia masih dalam taraf negara berkembang dimana kesejahteraan hidup rakyatnya belum merata sehingga terjadi kesenjagan sosial. Fenomena tersebut ditunjukan dengan banyaknya jumlah pengemis dan para tuna wisma di kota-kota besar terutama di Jakarta dan Yogyakarta.
Dewasa ini fenomena pengemis menjadi sebuah fakta sosial dalam masyarakat Indonesia. Menjadi pengemis bukan merupakan pekerjaan yang mulia karena menjadi pengemis adalah suatu perbuatan yang mencerminkan sikap malas dan tidak mau berusaha. Sikap mental menjadi pengemis sangat memprihatinkan apalagi realita yang terjadi dalam masyarakat saat ini banyak ditemui pengemis yang sehat secara jasmani dan hidup dalam taraf ekonomi yang cukup.
Fenomena yang terjadi saat ini yaitu tidak selalu orang menjadi pengemis karena keterpaksaan, tidak ada jalan lain lagi, ketidakmampuan fisik, dan alasan-alasan ketidakmampuan lainnya. Banyak juga orang mengemis karena sudah merasakan enak dan gampangnya mencari uang dari pekerjaan mudah tersebut; tinggal menadahkan tangan meminta uang. Jadilah akhirnya mereka merekayasa ketidakmampuan fisik itu dan menjadi penipu, memanfaatkan rasa belas kasih dan anjuran agama untuk menyantuni fakir miskin.

A. Fenomena Pengemis Kaya di Jakarta

Fakta yang menghebohkan terjadi pada November lalu ketika petugas Dinas Sosial Jakarta melakukan razia gelandangan dan pengemis. Hasil razia gelandangan dan pengemis pada hari 26 November 2013 yaitu petugas menemukan uang Rp. 25 juta hasil mengemis dalam gerobak ketika menangkap dua orang pengemis bernama Walang dan Sa'aran. Modus operasi mengemisnya adalah Walang mengemis dengan mendorong gerobak, sedangkan Sa'aran berada di gerobak dan mengaku sakit. Keduanya beroperasi di pinggir jalan di Jakarta pada malam hari.
Beberapa fakta yang diperoleh dari Walang, menurut keterangan Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan ;
  • Saat ditemukan uang Rp 25 juta tersebut disimpan di dalam plastik. Semula uang itu berupa recehan, namun kemudian ditukar menjadi uang kertas Rp 100 ribuan dan Rp 50 ribuan.
  • Di kampung asalnya, Subang, Walang punya bisnis ternak kambing
  • Walang sudah mendaftar haji di Subang, dan walau belum naik haji, Walang mendapat panggilan Haji Walang oleh para tetangganya
  • Walang sudah 5 tahun mengemis di Jakarta, dan sering pulang kampung
    Sekarang Walang dan temannya diinapkan di Panti Sosial Bina Insan, Cipayung,Jakarta Timur. Dan awal Desember lalu Walang dipulangkan aparat ke kampungnya, dan uang sebesar Rp. 25 juta telah dikembalikan kepada Walang.
Selain adana fenomena tersebut, ada pula temuan menarik tentang pengemis di Blok M Jakarta. Berdasarkan hasil investigasi independent yang dilakuka oleh seorang penulis di kompasiana, pengemis tersebut berpenghasilan Rp 15.000.000,00 per bulan. Pengemis tersebut beroperasi dikawasan Blok M dengan sasaran para penikmat kuliner di warung pinggir jalan.

“Pengemis itu memiliki kemampuan strategi dalam mengemis dan menentukan sasaran. Yang paling sering memberi uang kepada pengemis ternyata pasangan muda. Juga keluarga suami istri dan anak. Hampir semua pasangan dan kelompok serta suami-istri apalagi bersama anaknya, akan memberikan uang selembar ribuan. Mungkin para pasangan - laki-laki - malu kalau tak memberi pada pengemis. Laki-laki yang sendirian makan jarang memberi uang pada pengemis.”

Dengan strategi dan target sasaran yang digunakan pengemis tersebut, pengemis tersebut mampu mengumpulkan uang tidak kurang dari Rp 500,000,- sampai Rp 700,000,- per hari.
Tukang parkir, pedagang gulai dan kasir minimarket disekitar wilayah tersebut membenarkan hal tersebut. Pengakuan kasir minimarket yang menjadi langganan penukaran uang pengemis itu membenarkan jika dalam sehari tidak kurang dari Rp 200 ribu uang receh ditukar dengan dua lembar uang seratus ribuan.
Dari hasil investigasi ditemukan fakta bahwa sejak pukul 15:00 sampai dengan pukul 22:00 pengemis itu rata-rata setiap 2 menit mendapatkan 1 lembar uang seribu rupiah. Yang memberikan adalah para penikmat makanan malam seperti ayam bakar, gulai dan pekerja yang beristirahat dan pulang kerja.
Sedangkan yang menjadi target diminta atau di”emisi” adalah: para pelanggan nasi gulai Blok M. Karakter penikmat makan ini selalu memberi kepada pengemis. Pelanggan ayam bakar yang berseberangan dengan penjaja gulai juga penyumbang setia pengemis itu. Juga para pekerja seks dan pasangannya. Sampai pukul 02:00 dini hari tercatat tidak kurang 400 orang memberikan uang kepada pengemis itu. Jika diakumulasi total pendapatan pengemis per hari bisa mencapai Rp 500.00,00 hingga Rp 700.000,00 dan dalam sebulan mencapai Rp 15.000.00,00
Selai beberapa fakta sosial diatas, ada pula pengemis yang memilih menjadikan kegiatan tersebut sebagai profesi karena sudah merasa enak dan gampang mencari uang dari pekerjaan mudah tersebut. Tinggal menadahkan tangan meminta uang. Jadilah akhirnya mereka merekayasa ketidakmampuan fisik itu dan menjadi penipu, memanfaatkan rasa belas kasih dan anjuran agama untuk menyantuni fakir miskin. Mereka memilih bekerja menjadi pengemis bukan karena terpaksa dan bukan karena tidak mampu secara fisik untuk bekerja yang layak.
  1. Fenomena Pengemis di Yogyakarta
Sebuah fenomena yang dewasa ini menjadi sebuah penyimpangan sosial adalah keberadaan para gelandangan dan pengemis yang semakin menjamur di kota Yogyakarta. Fakta terbaru temuan Dinas Sosial Yogyakarta mengungkapkan bahwa pengemis yang mangkal di perempatan Ringroad Gejayan berpenghasilan Rp 250.000,00 setiap harinya. Suatu angka yang sangat fantastis. Pendapatan tersebut sangat tidak sepadan jika dibandingkan upah tukang becak dan buruh bangunan.
Fakta tersebut membuat resah dan kecemburuan sosial sehingga pihak dinas sosial semakin giat melakukan jaring penertiban. Setelah dijaring petugas, para gepeng tersebut dibawa ke camp assesment di Sewon Bantul. Adanya camp assesment tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek jera agar pengemis diluar daerah tidak lagi melakukan operasi di DIY. Menurut data Dinas Sosial, pengemis dari luar daerah mencapai lebih dari 65 persen. Bagi gepeng yang terjaring penertiban akan mendapat pembinaan berupa gemblengan fisik,mental dan dibekali ketrampilan agar mampu mandiri.
Yogyakarta menjadi surga bagi para gepeng lantaran masyarakat Yogya terlalu toleran dengan pengemis dan gelandangan. Itulah yang membuat Gepeng merasa aman dan nyaman tinggal di Yogya.
Dalam segi hukum undang-undang sudah sangat jelas mengatut bahwa untuk mengemis dan memberi uang kepada pengemis, kedua tindakan tersebut sama-sama melanggar peraturan daerah dan KUHP , yang isinya sbb;
Pasal 40
Setiap orang atau badan dilarang:
a. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil
b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Dalam KUHP Bab II Pasal 504
(1) Barang siapa mengemis dimuka umum diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama lima minggu
  1. Pengemisan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang berumur diatas 16 tahun pidana kurungan paling lama 3 bulan.
Penanganan gepeng di Yogya membutuhkan kekompakan antara lembaga terkait yaitu Dinas Sosial dan jajarannya serta peran serta masyarakat. Maksudnya peran aparat penertiban semaksimal mungkin melakukan operasi dan penjaringan gepeng di titik-titik rawan di DIY. Tugas Dinas Sosial untuk melakukan pembinaan setelah mereka masuk camp assesment. Dan masyarakat tidak membabi-buta memberikan recehan kepada gepeng, salurkan uang recehan kepada lembaga atau instansi resmi untuk menyalurkan sedekah yang jelas tepat sasaran.
Jika hal tersebut dapat dilakukan maka Kota Yogya akan lebih nyaman sebab gepeng tidak akan betah tinggal di lingkungan yang warganya memiliki kesadaran dan tanggungjawabnya sebagai warga kota yang baik peduli kepada lingkungan yang lebih sehat sosialnya.

3. Fatwa Haram Mengemis Oleh MUI
Mengenai kegiatan mengemis dan memberi kepada pengemis ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta telah mengeluarkan fatwa haram atas segala aktivitas yang menganggu ketertiban seperti mengemis, berdagang asongan, mengelap mobil, atau memberi uang di jalan raya.
Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta Samsul Ma'Arif mengatakan segala aktivitas itu haram dan dilarang oleh agama karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan.  Samsul menegaskan apapun alasannya, memberi uang kepada peminta-minta itu tidak dibenarkan. Maksudnya, tidak hanya meminta tapi memberi juga masuk di dalamnya. Jadi memberi yang bisa mengganggu ketertiban umum itu dilarang.
Selain faktor gangguan, Samsul mengatakan alasan lainnya karena tidak semua pengemis tersebut diduga bukan meminta-minta karena keterpaksaan tapi karena bermental malas. Bahkan tak jarang ditemukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang melakukan penipuan dengan menggugah iba masyarakat seperti pura-pura hamil, sakit bahkan cacat.

  1. Solusi
Setelah mengetahui fenomena penyimpangan yang dilakukan pengemis, hendaknya sebagai masyarakat kita bersikap untuk tidak lagi memberikan recehan kepada pengemis karena hal tersebut sama halnya dengan memupuk sikap malas dan tidak mandiri. Jika kita ingin bersedekah hendaknya memberikan rezeki kepada lembaga dan instansi sosial yang sudah jelas sehingga hal tersebut akan disalurkan secara resmi kepada pihak yang benar-benar membutuhkan.

Referensi :

Koran Minggu Pagi. No 40 Th 66 Minggu 1 Januari 2014. Hal 1 Teguh. Mengemis Rp 250 ribu sehari.

No comments:

Post a Comment

Feel Free to comment... Sertakan Identitas kamu yah ^.^