Dewasa
ini Indonesia masih dalam taraf negara berkembang dimana
kesejahteraan hidup rakyatnya belum merata sehingga terjadi
kesenjagan sosial. Fenomena tersebut ditunjukan dengan banyaknya
jumlah pengemis dan para tuna wisma di kota-kota besar terutama di
Jakarta dan Yogyakarta.
Dewasa
ini fenomena pengemis menjadi sebuah fakta sosial dalam masyarakat
Indonesia. Menjadi pengemis bukan merupakan pekerjaan yang mulia
karena menjadi pengemis adalah suatu perbuatan yang mencerminkan
sikap malas dan tidak mau berusaha. Sikap mental menjadi pengemis
sangat memprihatinkan apalagi realita yang terjadi dalam masyarakat
saat ini banyak ditemui pengemis yang sehat secara jasmani dan
hidup dalam taraf ekonomi yang cukup.
Fenomena
yang terjadi saat ini yaitu tidak
selalu orang menjadi pengemis karena keterpaksaan, tidak ada
jalan
lain lagi, ketidakmampuan fisik, dan alasan-alasan ketidakmampuan
lainnya. Banyak juga orang mengemis karena sudah merasakan enak dan
gampangnya mencari uang dari pekerjaan mudah tersebut; tinggal
menadahkan tangan meminta uang. Jadilah akhirnya mereka merekayasa
ketidakmampuan fisik itu dan menjadi penipu, memanfaatkan rasa belas
kasih dan anjuran agama untuk menyantuni fakir miskin.
A.
Fenomena Pengemis Kaya di Jakarta
Fakta
yang menghebohkan terjadi pada November lalu ketika petugas Dinas
Sosial Jakarta melakukan razia gelandangan dan pengemis. Hasil razia
gelandangan dan pengemis pada hari 26 November 2013 yaitu petugas
menemukan uang Rp.
25 juta hasil
mengemis dalam gerobak ketika menangkap dua orang pengemis bernama
Walang dan Sa'aran. Modus operasi mengemisnya adalah Walang mengemis
dengan mendorong gerobak, sedangkan Sa'aran berada di gerobak dan
mengaku sakit. Keduanya beroperasi di pinggir jalan di Jakarta pada
malam hari.
Beberapa fakta yang diperoleh dari Walang, menurut keterangan Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan ;
Beberapa fakta yang diperoleh dari Walang, menurut keterangan Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan ;
- Saat ditemukan uang Rp 25 juta tersebut disimpan di dalam plastik. Semula uang itu berupa recehan, namun kemudian ditukar menjadi uang kertas Rp 100 ribuan dan Rp 50 ribuan.
- Walang sudah mendaftar haji di Subang, dan walau belum naik haji, Walang mendapat panggilan Haji Walang oleh para tetangganya
- Walang sudah 5 tahun mengemis di Jakarta, dan sering pulang kampung
Sekarang Walang dan temannya diinapkan di Panti Sosial Bina Insan, Cipayung,Jakarta Timur. Dan awal Desember lalu Walang dipulangkan aparat ke kampungnya, dan uang sebesar Rp. 25 juta telah dikembalikan kepada Walang.
Selain
adana fenomena tersebut, ada pula temuan menarik tentang pengemis di
Blok M Jakarta. Berdasarkan hasil investigasi independent yang
dilakuka oleh seorang penulis di kompasiana, pengemis tersebut
berpenghasilan Rp 15.000.000,00 per bulan. Pengemis tersebut
beroperasi dikawasan Blok M dengan sasaran para penikmat kuliner di
warung pinggir jalan.
“Pengemis
itu memiliki kemampuan strategi dalam mengemis dan menentukan
sasaran. Yang paling sering memberi uang kepada pengemis ternyata
pasangan muda. Juga keluarga suami istri dan anak. Hampir semua
pasangan dan kelompok serta suami-istri apalagi bersama anaknya, akan
memberikan uang selembar ribuan. Mungkin para pasangan - laki-laki -
malu kalau tak memberi pada pengemis. Laki-laki yang sendirian makan
jarang memberi uang pada pengemis.”
Dengan
strategi dan target sasaran yang digunakan pengemis tersebut,
pengemis tersebut mampu mengumpulkan uang tidak kurang dari Rp
500,000,- sampai Rp 700,000,- per hari.
Tukang
parkir, pedagang gulai dan kasir minimarket disekitar wilayah
tersebut membenarkan hal tersebut. Pengakuan kasir minimarket yang
menjadi langganan penukaran uang pengemis itu membenarkan jika dalam
sehari tidak kurang dari Rp 200 ribu uang receh ditukar dengan dua
lembar uang seratus ribuan.
Dari
hasil investigasi ditemukan fakta bahwa sejak pukul 15:00 sampai
dengan pukul 22:00 pengemis itu rata-rata setiap 2 menit mendapatkan
1 lembar uang seribu rupiah. Yang memberikan adalah para penikmat
makanan malam seperti ayam bakar, gulai dan pekerja yang beristirahat
dan pulang kerja.
Sedangkan
yang menjadi target diminta atau di”emisi” adalah: para pelanggan
nasi gulai Blok M. Karakter penikmat makan ini selalu memberi kepada
pengemis. Pelanggan ayam bakar yang berseberangan dengan penjaja
gulai juga penyumbang setia pengemis itu. Juga para pekerja seks dan
pasangannya. Sampai pukul 02:00 dini hari tercatat tidak kurang 400
orang memberikan uang kepada pengemis itu. Jika diakumulasi total
pendapatan pengemis per hari bisa mencapai Rp 500.00,00 hingga Rp
700.000,00 dan dalam sebulan mencapai Rp 15.000.00,00
Selai
beberapa fakta sosial diatas, ada pula pengemis yang memilih
menjadikan kegiatan tersebut sebagai profesi karena sudah merasa enak
dan gampang mencari uang dari pekerjaan mudah tersebut. Tinggal
menadahkan tangan meminta uang. Jadilah akhirnya mereka merekayasa
ketidakmampuan fisik itu dan menjadi penipu, memanfaatkan rasa belas
kasih dan anjuran agama untuk menyantuni fakir miskin. Mereka
memilih bekerja menjadi pengemis bukan karena terpaksa dan bukan
karena tidak mampu secara fisik untuk bekerja yang layak.
- Fenomena Pengemis di Yogyakarta
Sebuah
fenomena yang dewasa ini menjadi sebuah penyimpangan sosial adalah
keberadaan para gelandangan dan pengemis yang semakin menjamur di
kota Yogyakarta. Fakta terbaru temuan Dinas Sosial Yogyakarta
mengungkapkan bahwa pengemis yang mangkal di perempatan Ringroad
Gejayan berpenghasilan Rp 250.000,00 setiap harinya. Suatu angka yang
sangat fantastis. Pendapatan tersebut sangat tidak sepadan jika
dibandingkan upah tukang becak dan buruh bangunan.
Fakta
tersebut membuat resah dan kecemburuan sosial sehingga pihak dinas
sosial semakin giat melakukan jaring penertiban. Setelah dijaring
petugas, para gepeng tersebut dibawa ke camp assesment di Sewon
Bantul. Adanya camp assesment tersebut dimaksudkan untuk memberikan
efek jera agar pengemis diluar daerah tidak lagi melakukan operasi di
DIY. Menurut data Dinas Sosial, pengemis dari luar daerah mencapai
lebih dari 65 persen. Bagi gepeng yang terjaring penertiban akan
mendapat pembinaan berupa gemblengan fisik,mental dan dibekali
ketrampilan agar mampu mandiri.
Yogyakarta
menjadi surga bagi para gepeng lantaran masyarakat Yogya terlalu
toleran dengan pengemis dan gelandangan. Itulah yang membuat Gepeng
merasa aman dan nyaman tinggal di Yogya.
Dalam
segi hukum undang-undang sudah sangat jelas mengatut bahwa untuk
mengemis dan memberi uang kepada pengemis, kedua tindakan tersebut
sama-sama melanggar peraturan daerah dan KUHP , yang isinya sbb;
Pasal
40
Setiap
orang atau badan dilarang:
a.
menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil
b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Dalam
KUHP Bab II Pasal 504
(1)
Barang siapa mengemis dimuka umum diancam karena melakukan pengemisan
dengan pidana kurungan paling lama lima minggu
- Pengemisan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang berumur diatas 16 tahun pidana kurungan paling lama 3 bulan.
Penanganan
gepeng di Yogya membutuhkan kekompakan antara lembaga terkait yaitu
Dinas Sosial dan jajarannya serta peran serta masyarakat. Maksudnya
peran aparat penertiban semaksimal mungkin melakukan operasi dan
penjaringan gepeng di titik-titik rawan di DIY. Tugas Dinas Sosial
untuk melakukan pembinaan setelah mereka masuk camp assesment. Dan
masyarakat tidak membabi-buta memberikan recehan kepada gepeng,
salurkan uang recehan kepada lembaga atau instansi resmi untuk
menyalurkan sedekah yang jelas tepat sasaran.
Jika
hal tersebut dapat dilakukan maka Kota Yogya akan lebih nyaman sebab
gepeng tidak akan betah tinggal di lingkungan yang warganya memiliki
kesadaran dan tanggungjawabnya sebagai warga kota yang baik peduli
kepada lingkungan yang lebih sehat sosialnya.
3.
Fatwa Haram Mengemis Oleh MUI
Mengenai
kegiatan mengemis dan memberi kepada pengemis ini, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) DKI Jakarta telah mengeluarkan fatwa haram atas
segala aktivitas yang menganggu ketertiban seperti mengemis,
berdagang asongan, mengelap mobil, atau memberi uang di jalan raya.
Sekretaris
Umum MUI DKI Jakarta Samsul Ma'Arif mengatakan segala aktivitas itu
haram dan dilarang oleh agama karena berpotensi merugikan banyak
orang dan menimbulkan kerawanan. Samsul menegaskan apapun
alasannya, memberi uang kepada peminta-minta itu tidak dibenarkan.
Maksudnya, tidak hanya meminta tapi memberi juga masuk di dalamnya.
Jadi memberi yang bisa mengganggu ketertiban umum itu dilarang.
Selain
faktor gangguan, Samsul mengatakan alasan lainnya karena tidak semua
pengemis tersebut diduga bukan meminta-minta karena keterpaksaan tapi
karena bermental malas. Bahkan tak jarang ditemukan penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang melakukan penipuan dengan
menggugah iba masyarakat seperti pura-pura hamil, sakit bahkan cacat.
- Solusi
Setelah mengetahui fenomena penyimpangan yang dilakukan pengemis,
hendaknya sebagai masyarakat kita bersikap untuk tidak lagi
memberikan recehan kepada pengemis karena hal tersebut sama halnya
dengan memupuk sikap malas dan tidak mandiri. Jika kita ingin
bersedekah hendaknya memberikan rezeki kepada lembaga dan instansi
sosial yang sudah jelas sehingga hal tersebut akan disalurkan secara
resmi kepada pihak yang benar-benar membutuhkan.
Referensi
:
Koran
Minggu Pagi. No 40 Th 66 Minggu 1 Januari 2014. Hal 1 Teguh. Mengemis
Rp 250 ribu sehari.
No comments:
Post a Comment
Feel Free to comment... Sertakan Identitas kamu yah ^.^